Berita Indonesia : Meluruskan Pemahaman Hari Ibu

PASBERITA.com - Di tengah semarak dan syahdu masyarakat Indonesia merayakan hari ibu, masih terdengar cibiran sumir yang menyalahkan peringatan pada tiap 22 Desember itu. Ada beberapa alasan, dari acara kaum pagan, tidak dikenal dalam Islam, hingga seolah-olah hari ibu mereduksi kasih sayang kepada orang tua hanya pada tanggal tersebut. Sesuatu yang penulis rasa urgen untuk diluruskan.

Sejarah Hari Ibu


Ada media yang menghubung-hubungkan perayaan hari ibu dengan jejak upacara kaum pagan. Di beberapa negara di Eropa dan Timur Tengah, Mother’s Day terhubung dengan kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Sehingga di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Lalu media yang mengutip itu membuat konklusi bahwa hari ibu setara dengan hari yang tidak bermanfaat seperti April Mop, hari Valentine, Tahun Baru, dll.

Kalau benar faktanya seperti itu yang terjadi di beberapa negara, di Indonesia malah tidak. Hari ibu di negara ini berawal dari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang digelar dari 22 hingga 25 Desember 1928. Kongres Perempuan Indonesia ini bahkan diikuti oleh organisasi wanita Muhammadiyah, Aisjiah. Kemudian Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden No. 316 thn. 1953 untuk meresmikan hari ibu sebagai hari nasional. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Jelas tak ada jejak perayaan kaum pagan di peringatan hari ibu di Indonesia. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai tasyabuh, atau meniru suatu syariat di luar Islam. Semangat yang dibawa untuk memaknai hari ibu adalah kebaikan universal, yang kebaikan itu bisa saja terdapat di banyak negara karena keuniversalannya. Mungkin saja di luar sana mereka harus bertasyabuh pada perayaan kaum pagan untuk memunculkan semangat kebaikan ini, tapi tidak di Indonesia yang punya sejarah harum tersendiri untuk memperingati hari ibu.

Fatwa ulama timur tengah yang mengharamkan hari ibu mungkin cocok untuk di negaranya. Karena mungkin hari ibu di sana berasal dari hari kaum pagan. Tapi tidak di Indonesia yang berbeda konteksnya.

Bukan Tasyabuh


Dengan kejelasan sejarah itu, maka penetapan hari ibu tidak bisa dikatakan sebagai tasyabuh. Lalu bagaimana dengan aktivitas dalam memperingati hari ibu yang rentan mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang kafir?

Karena hari ibu yang bukan hari raya agama tertentu maka tidak ada aktivitas khusus yang berbau peribadatan agama lain. Hari ibu pun dirayakan dengan cara yang beragam. Tidak ada cara yang khusus. Lebih banyak inisiatif pribadi daripada ikut-ikutan orang. Dan biasanya apa yang dilakukan orang adalah kebaikan yang bersifat universal dan humanis. Tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan banyak yang memenuhi anjuran Islam.

Misalnya mengunjungi ibu, atau membuatkan makanan spesial untuk ibu. Ada juga anak atau ayah yang mengerjakan pekerjaan ibu sehari-hari untuk merasakan letihnya menjadi ibu.

Kegiatan-kegiatan itu selain bukan tasyabuh, andai ada keserupaan aktivitas antara muslim dan non muslim pun tidak masuk kriteria tasyabuh yang terlarang.

Hanya Hari Nasional, Bukan Hari Raya Agama

Ada juga yang salah kaprah dengan menyangka hari ibu menjadi hari raya yang tidak dikenal dalam Islam. Tidak pernah ada orang yang merayakan hari ibu meniatkannya sebagai hari dalam Islam. Hari ibu hanyalah hari nasional, yang bahkan pemerintah tidak menjadikannya sebagai hari libur (tanggal merah).

Hari ibu adalah hari nasional sebagaimana hari pendidikan, hari guru, hari anak, hari pahlawan, hari anti korupsi, dll. Sangat absurd argumen yang mengatakan bahwa hari ibu tidak dikenal dalam Islam sehingga tidak perlu menambah hari raya dalam Islam. Tidak ada yang mengaitkan hari ibu dengan hari raya agama kecuali mereka yang resah sendiri dengan keberadaan hari ibu.

Kaidah fiqh dengan bijak mengajarkan kita, bahwa dalam urusan muamalah segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Hari ibu hanyalah urusan muamalah. Salah kaprah bila diseret ke urusan ibadah mahdhoh.

Urgensi Hari Ibu


Kemudian masih pentingkah hari ibu karena toh tiap hari seharusnya adalah hari ibu?

Sama saja pertanyaan ini bila ditanyakan ke tiap hari nasional. Misalnya, masih pentingkah hari pendidikan karena tiap hari para murid dan guru melakukan proses belajar mengajar?

Diistimewakannya satu hari untuk memperingati hari tertentu memang ada tujuannya, yaitu agar suatu tema lebih bergaung di masyarakat. Bagi aktivis peduli AIDS, penetapan hari AIDS membantu mereka untuk menyosialisasikan pencegahan AIDS kepada umat manusia. Di sekitar hari itu media massa mengangkat soal AIDS, dan para aktivis punya kesempatan untuk berkampanye.

Bagaimana dengan selain hari itu? Ada begitu banyak tema di dunia ini yang tidak akan bisa selalu diangkat tiap hari. Karena itu pergiliran hari untuk bermacam tema memudahkan sosialisasi terhadap tema tersebut. Tidak bisa tiap hari media massa mengangkat soal AIDS, pendidikan, kepahlawanan, tentang ibu, dll. Pergiliran hari memudahkan kampanye hari-hari itu bisa terfokus.

Ada banyak problem tentang ibu yang perlu diadvokasi. Misalnya aturan pemerintah agar cuti terhadap karyawan menyusui diperpanjang; atau pencegahan ibu meninggal saat melahirkan. Ketika mendekati hari ibu, semua perangkat untuk bersosialisasi mendapatkan momentumnya untuk diarahkan membahas soal ibu. Dan kampanye hal-hal di atas pun bisa fokus kepada masyarakat, tidak terganggu teriakan lain entah itu soal AIDS, soal pendidikan, dll.

Jadi, bicara hari ibu bukan cuma bagaimana seorang anak berterimakasih kepada wanita yang mengasuhnya. Juga soal bagaimana agar ibu semakin berdaya dan diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat.

Zico Alviandri





 

sumber Sumber